Senin, 22 Oktober 2012

Lingkungan tumbuh vs Lingkungan kerja


Namche sekolah umum yang menjadi sekolah putri.

Genderism di tempatku bekerja sangat bertolak belakang dengan sebagian besar pekerjaan di dunia khususnya di Indonesia. Namun sebelum membicarakan mengenai genderism yang ada di tempat kerja, alangkah lebih baik saya mencoba menyusun general genderism yang hampir sebagian besar mengalaminya, tidak ubahnya saya pribadi.

Saya lulus sekolah menengah atas di lingkungan yang sebagian besar perempuan. Bagaimana tidak namche (sebutan akrab sekolahku) adalah salah satu SMA yang terkenal gali (baca: preman dan nakal), tukang tawur, dan tukang bolos mendadak ingin merubah image nya dengan SMA yang bermutu. Namche, dulu, meski gali tetap memiliki peringkat yang lumayan di lingkup SMA di Yogyakarta. Terkadang peringkat 3 terkadang juga peringkat 5. Namun, saat itu, saat dimana aku bersekolah di sana, namche tidak lagi menjadi salah satu sekolah unggulan, karena semakin intensifnya tawuran kala itu di kalangan remaja Yogyakarta.

Berbagai cara dilakukan baik oleh guru, kepala sekolah, maupun Dinas Pendidikan setempat untuk mengurangi semangat dan solidaritas tawuran namche kala itu dan (yang paling penting) mengembalikan predikat unggulan yang pernah disandang namche. Salah satu yang dilakukan oleh pihak sekolah adalah dengan membubarkan sistem OSPEK yang terkesan menjadi ajang recruitment siswa potensi tawur. Sistem itu tidak lain dan tidak bukan adalah Penanaman sikap solidaritas sesama angkatan dan namche’ers yang lain (yang pastinya dan terutama adalah senior). Lebih jauh mengenai OSPEK namche, segala tindakan bullying yang dilegalkan terjadi di sistem kala itu. OSPEK dilakukan selama seminggu penuh yang dimulai dari pukul 14.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB. Capek luar dalam, capek mental dan fisik.

Cara kedua yang paling fenomenal menurutku adalah terkait dengan genderism. Sebenarnya apa sih dan mengapa gender? Akan saya bahas di artikel selanjutnya *ingatkan saya. Genderism hanya istilah yang saya pakai untuk menunjukkan perbedaan gender

Penerimaan siswa – siswi baru dengan perbandingan antara siswa yang lebih sedikit dibanding siswi dimulai pada tahun saya masuk namche, yaitu sekitar tahun 2001. Tahun – tahun berikutnya semakin ekstrim dengan hanya menerima siswa sebanyak 2 kelas dari total 8 kelas. Pada tahun 2001 hanya berdasarkan perbandingan siswa dan siswi di dalam kelas yaitu seperempatnya adalah siswa.
Pertanyaannya adalah efektif atau tidak? Ternyata cukup efektif untuk menekan intensitas tawuran saat itu. Saat itu. Hanya saat itu menurut saya. Karena sebagai salah satu sekolah negeri yang masih menjadi favorit di kalangan masyarakat Yogyakarta, namche juga harus mampu mengakomodir potensi – potensi dari siswa – siswa yang ingin masuk di namche guna pengembangan ekstra kurikulernya. Namche, saat itu hingga kini, masih dikenal sebagai salah satu sekolah menengah atas yang mendukung segala bentuk kegiatan ekstra kurikuler, sehingga tidak dapat dipungkiri namche telah memiliki berbagai prestasi disegala bidang tanpa terkecuali.

Kembali ke genderism, masa – masa SMA saya habiskan dengan terbiasa melihat perempuan terbiasa bergosip dengan sesame perempuan, tapi mungkin bagi sebagian orang hal seperti ini wajar. Sangat wajar, karena konon ketika dunia akan kiamat dua pertiga penduduk dunia akan dikuasai oleh perempuan.

Kerja di lingkungan laki – laki

Saya termasuk salah satu dari sekian banyak orang yang terjebak di pilihan – pilihan ujian masuk perguruan tinggi negeri. Salah jurusan mungkin kata-kata yang kurang tepat meski sangat mencerminkan kegalauan hati. Kata atau frasa yang lebih tepat adalah jurusan yang bukan menjadi prioritas saya untuk dipilih.

Kala itu, saya masih bercita – cita untuk menjadi dokter atau setidak-tidaknya ingin menjadi mathematician, karena saya cinta matematika hingga bermimpi akan membuat sebuah yayasan mathlover. Namun, mungkin memang bukan jodoh, saya tidak mengambil jurusan tersebut. Beberapa kali disarankan untuk mengambil jurusan teknik yang lumayan ciamik, tidak harus yang susah, namun skali lagi saya kurang percaya diri dengan kualitas fisika saya. Hingga beberapa tahun kemudian saya menyadari bahwa saya pun layak untuk memasuki jurusan tersebut, melihat dari skor ujian. Beberapa tahun kemudian pun, saya menyadari bahwa sebenarnya passion saya bukan di dokter, teknik, ataupun matematika, tapi saya adalah guru sejati, saya cinta mengajar.

Terlepas dari itu semua, saya masuk ke jurusan yang tidak disangka dan jurusan dengan dunia yang belum saya kenal sebelumnya, yaitu dunia kehutanan. Sebagai rimbawan baru, saya tergolong paling “gaptek” dunia kehutanan, karena hampir sebagian besar kolega saya memang menginginkan untuk menjadi forester, dan saya tidak.

Lepas kuliah saya bekerja di Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di Sulawesi Selatan. Balai ini berada di bawah kementerian kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Sebagai pegawai pemerintahan terutama di Kementerian kehutanan saya dituntut untuk mampu beradaptasi dengan jenis hutan yang ada. Tidak hanya beradaptasi dengan hutan, tetapi juga sebagai perempuan.

Saya dibesarkan dalam lingkungan yang sebagian besar perempuan, saya dituntut untuk tetap mandiri, saya terbiasa tidak bergaul dengan lawan jenis yang sedikit banyak akan berpengaruh dengan kepribadian dan sikap saya terhadap lawan jenis.

Bekerja di lingkungan laki-laki ada enak dan tidak enaknya. Beberapa hari yang lalu saya mencoba untuk mendaftar apa saja sih kelebihan dan kekurangan bekerja di lingkungan kerja yang sebagian besar laki-laki, dan bagaimana cara untuk menyikapinya. Kelebihan dan kekurangan tersebut antara lain :
  1. Ketika harus bekerja yang sedikit menguras tenaga, bapak – bapak dan om om pasti akan berjiwa besar membolehkan saya untuk tidak turut serta. Namun ngga enaknya kita dianggap tidak mampu dan sering tidak tahu medan.  Terkadang bapak – bapak tersebut juga berpikir seandainya, saya, perempuan, turut serta akan cenderung memperlambat kegiatan, disini muncul anggapan – anggapan atau pelabelan negative bahwa perempuan dianggap tidak mampu tidak capable. Walaupun tidak semua begitu.mm
  2. Ketika harus berkegiatan bersama – sama, saya sbg perempuan mendapat privilege yang berbeeda dibanding yang lain. Ketika menginap, saya mendapat kamar sendiri, kamar yang paling bersih, kamar yang paling terang, dll. Ketika harus jalan saya mendapat bantuan pegangan tangan ketika capek atau tidak bisa berjalan. Tidak enaknya, saya sebagai perempuan terkadang tidak punya teman berbicara, sendirian.

Itu hanya beberapa dari kelebihan dan kekurangan bekerja di lingkungan yang sebagian besar laki – laki. Solusinya sebenarnya tidak ada, nowadays, bias gender hampir tidak terjadi di lingkungan saya bekerja, kita dianggap equal. Sebagai forester, corsa lebih dijunjung tinggi.

To be continued…