Namche sekolah umum
yang menjadi sekolah putri.
Genderism di tempatku bekerja sangat bertolak belakang
dengan sebagian besar pekerjaan di dunia khususnya di Indonesia. Namun sebelum
membicarakan mengenai genderism yang ada di tempat kerja, alangkah lebih baik
saya mencoba menyusun general genderism yang hampir sebagian besar
mengalaminya, tidak ubahnya saya pribadi.
Saya lulus sekolah menengah atas di lingkungan yang sebagian
besar perempuan. Bagaimana tidak namche (sebutan akrab sekolahku) adalah salah
satu SMA yang terkenal gali (baca:
preman dan nakal), tukang tawur, dan tukang bolos mendadak ingin merubah image
nya dengan SMA yang bermutu. Namche, dulu, meski gali tetap memiliki peringkat yang lumayan di lingkup SMA di
Yogyakarta. Terkadang peringkat 3 terkadang juga peringkat 5. Namun, saat itu,
saat dimana aku bersekolah di sana, namche tidak lagi menjadi salah satu
sekolah unggulan, karena semakin intensifnya tawuran kala itu di kalangan
remaja Yogyakarta.
Berbagai cara dilakukan baik oleh guru, kepala sekolah,
maupun Dinas Pendidikan setempat untuk mengurangi semangat dan solidaritas
tawuran namche kala itu dan (yang paling penting) mengembalikan predikat
unggulan yang pernah disandang namche. Salah satu yang dilakukan oleh pihak
sekolah adalah dengan membubarkan sistem OSPEK yang terkesan menjadi ajang
recruitment siswa potensi tawur. Sistem itu tidak lain dan tidak bukan adalah
Penanaman sikap solidaritas sesama angkatan dan namche’ers yang lain (yang
pastinya dan terutama adalah senior). Lebih jauh mengenai OSPEK namche, segala
tindakan bullying yang dilegalkan
terjadi di sistem kala itu. OSPEK dilakukan selama seminggu penuh yang dimulai
dari pukul 14.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB. Capek luar dalam, capek mental dan
fisik.
Cara kedua yang paling fenomenal menurutku adalah terkait
dengan genderism. Sebenarnya apa sih dan mengapa gender? Akan saya bahas di
artikel selanjutnya *ingatkan saya. Genderism hanya istilah yang saya pakai
untuk menunjukkan perbedaan gender
Penerimaan siswa – siswi baru dengan perbandingan antara
siswa yang lebih sedikit dibanding siswi dimulai pada tahun saya masuk namche,
yaitu sekitar tahun 2001. Tahun – tahun berikutnya semakin ekstrim dengan hanya
menerima siswa sebanyak 2 kelas dari total 8 kelas. Pada tahun 2001 hanya berdasarkan
perbandingan siswa dan siswi di dalam kelas yaitu seperempatnya adalah siswa.
Pertanyaannya adalah efektif atau tidak? Ternyata cukup
efektif untuk menekan intensitas tawuran saat itu. Saat itu. Hanya saat itu
menurut saya. Karena sebagai salah satu sekolah negeri yang masih menjadi
favorit di kalangan masyarakat Yogyakarta, namche juga harus mampu mengakomodir
potensi – potensi dari siswa – siswa yang ingin masuk di namche guna
pengembangan ekstra kurikulernya. Namche, saat itu hingga kini, masih dikenal
sebagai salah satu sekolah menengah atas yang mendukung segala bentuk kegiatan
ekstra kurikuler, sehingga tidak dapat dipungkiri namche telah memiliki
berbagai prestasi disegala bidang tanpa terkecuali.
Kembali ke genderism, masa – masa SMA saya habiskan dengan
terbiasa melihat perempuan terbiasa bergosip dengan sesame perempuan, tapi
mungkin bagi sebagian orang hal seperti ini wajar. Sangat wajar, karena konon
ketika dunia akan kiamat dua pertiga penduduk dunia akan dikuasai oleh
perempuan.
Kerja di lingkungan
laki – laki
Saya termasuk salah satu dari sekian banyak orang yang
terjebak di pilihan – pilihan ujian masuk perguruan tinggi negeri. Salah
jurusan mungkin kata-kata yang kurang tepat meski sangat mencerminkan kegalauan
hati. Kata atau frasa yang lebih tepat adalah jurusan yang bukan menjadi
prioritas saya untuk dipilih.
Kala itu, saya masih bercita – cita untuk menjadi dokter
atau setidak-tidaknya ingin menjadi mathematician, karena saya cinta matematika
hingga bermimpi akan membuat sebuah yayasan mathlover. Namun, mungkin memang
bukan jodoh, saya tidak mengambil jurusan tersebut. Beberapa kali disarankan
untuk mengambil jurusan teknik yang lumayan ciamik, tidak harus yang susah,
namun skali lagi saya kurang percaya diri dengan kualitas fisika saya. Hingga beberapa
tahun kemudian saya menyadari bahwa saya pun layak untuk memasuki jurusan tersebut,
melihat dari skor ujian. Beberapa tahun kemudian pun, saya menyadari bahwa
sebenarnya passion saya bukan di dokter, teknik, ataupun matematika, tapi saya
adalah guru sejati, saya cinta mengajar.
Terlepas dari itu semua, saya masuk ke jurusan yang tidak
disangka dan jurusan dengan dunia yang belum saya kenal sebelumnya, yaitu dunia
kehutanan. Sebagai rimbawan baru, saya tergolong paling “gaptek” dunia
kehutanan, karena hampir sebagian besar kolega saya memang menginginkan untuk
menjadi forester, dan saya tidak.
Lepas kuliah saya bekerja di Balai Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung di Sulawesi Selatan. Balai ini berada di bawah
kementerian kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam. Sebagai pegawai pemerintahan terutama di Kementerian kehutanan saya
dituntut untuk mampu beradaptasi dengan jenis hutan yang ada. Tidak hanya
beradaptasi dengan hutan, tetapi juga sebagai perempuan.
Saya dibesarkan dalam lingkungan yang sebagian besar
perempuan, saya dituntut untuk tetap mandiri, saya terbiasa tidak bergaul
dengan lawan jenis yang sedikit banyak akan berpengaruh dengan kepribadian dan
sikap saya terhadap lawan jenis.
Bekerja di lingkungan laki-laki ada enak dan tidak enaknya. Beberapa
hari yang lalu saya mencoba untuk mendaftar apa saja sih kelebihan dan
kekurangan bekerja di lingkungan kerja yang sebagian besar laki-laki, dan
bagaimana cara untuk menyikapinya. Kelebihan dan kekurangan tersebut antara
lain :
- Ketika harus bekerja yang sedikit menguras tenaga, bapak – bapak dan om om pasti akan berjiwa besar membolehkan saya untuk tidak turut serta. Namun ngga enaknya kita dianggap tidak mampu dan sering tidak tahu medan. Terkadang bapak – bapak tersebut juga berpikir seandainya, saya, perempuan, turut serta akan cenderung memperlambat kegiatan, disini muncul anggapan – anggapan atau pelabelan negative bahwa perempuan dianggap tidak mampu tidak capable. Walaupun tidak semua begitu.mm
- Ketika harus berkegiatan bersama – sama, saya sbg perempuan mendapat privilege yang berbeeda dibanding yang lain. Ketika menginap, saya mendapat kamar sendiri, kamar yang paling bersih, kamar yang paling terang, dll. Ketika harus jalan saya mendapat bantuan pegangan tangan ketika capek atau tidak bisa berjalan. Tidak enaknya, saya sebagai perempuan terkadang tidak punya teman berbicara, sendirian.
Itu hanya beberapa dari kelebihan
dan kekurangan bekerja di lingkungan yang sebagian besar laki – laki. Solusinya
sebenarnya tidak ada, nowadays, bias gender hampir tidak terjadi di lingkungan
saya bekerja, kita dianggap equal. Sebagai forester, corsa lebih dijunjung
tinggi.
To be continued…